KEBUMEN - Seni cepetan keberadaannya cukup memprihatinkan. Bahkan banyak masyarakat Kabupaten Kebumen tidak mengenal kesenian yang setiap pemainnya mengenakan topeng dari kayu pohon randu.
Menurut sesepuh Paguyuban Budaya Pertapan Tunggal Randu Budaya di Dukuh Kebon, Desa Watulawang, Kecamatan Pejagian, Dawintana (70), pada awalnya cepetan sebagai upaya warga sipil mengusir penjajah dengan cara menakut-nakuti dengan topeng cepetan yang seram.
Setelah kemerdekaan, cepetan berkembang menjadi kesenian rakyat dalam arak-arakan selepas panen. Tariannya yang energik melambangkan kegembiraan, sekaligus ungkapan rasa syukur pada Yang Maha Kuasa.
Di zaman sekarang, Dawintana bersama Mustarja (66) sesepuh Pertapan Tunggal Paguyuban Prajineman Tri Tunggal di Dukuh Perkutukan, Desa Peniron, Kecamatan Pejagoan, berusaha keras nguri-uri kesenian cepetan.
"Meski sebenarnya sangat berat karena saat ini sudah jarang ada yang mau nanggap cepetan," ujar Dawintana dan Mustarja. (Suk)
Menurut sesepuh Paguyuban Budaya Pertapan Tunggal Randu Budaya di Dukuh Kebon, Desa Watulawang, Kecamatan Pejagian, Dawintana (70), pada awalnya cepetan sebagai upaya warga sipil mengusir penjajah dengan cara menakut-nakuti dengan topeng cepetan yang seram.
Setelah kemerdekaan, cepetan berkembang menjadi kesenian rakyat dalam arak-arakan selepas panen. Tariannya yang energik melambangkan kegembiraan, sekaligus ungkapan rasa syukur pada Yang Maha Kuasa.
Di zaman sekarang, Dawintana bersama Mustarja (66) sesepuh Pertapan Tunggal Paguyuban Prajineman Tri Tunggal di Dukuh Perkutukan, Desa Peniron, Kecamatan Pejagoan, berusaha keras nguri-uri kesenian cepetan.
"Meski sebenarnya sangat berat karena saat ini sudah jarang ada yang mau nanggap cepetan," ujar Dawintana dan Mustarja. (Suk)
sumber : KRjogja.com
No comments:
Post a Comment