Cépét
Cépét
yaitu kesenian tradisional di desa watulawang yang dimainkan oleh 12
orang, dan memakai topeng raksasa. Rambutnya terbuat dari duk ( sabut
pohon aren ) pemainnya mengenakan pakaian hitam, dan memakai sarung
sebagai blebed dan di iringi oleh musik tradisional yaitu kentongan,
jidur ( kendang gede ) dan drum bekas. Cepet atau oleh sebagian
masyarakat di sebut juga dangsak sudah ada sejak tahun 1960-an yang di
dirikan oleh Almarhum Bapak Parta Wijaya, dan turun temurun sampe
sekarang.
Ada yang unik dari seni ini, yaitu pentas hanya setahun sekali, tepatnya pada
perayaan 17 agustus. Dalam peringatan 17 agustus, cépét merupakan menu
wajib yang harus di mainkan, mengiringi anak sekolah SD watulawang yang
konvoi mengelilingi desa, bahkan sampai ke desa lain di Peniron.
Di saat mau pentas, para rombongan
cépét biasanya sudah ngumpul pagi- di rumah Ketua rombongan ( bpk.
Dawintana ) dan memakai seragam dan aksesoris perlengkapannya, kemudian
rombongan berangkat untuk mengikuti upacara peringatan 17 Agustus di SD
Negeri Watulawang, bersama rombongan kuda lumping dan anak –anak
sekolah.
Kemudian
di lanjutkan dengan konvoi, rombongan cépét selalu berada di depan, dan
di ikuti rombongan anak sekolah, dan paling belakang rombongan kuda
lumping.
Di
perjalanan kadang pemain cépét ini sudah ada yang kesurupan, dengan
sautan suara yang menyeramkan, mereka mengerang- ngerang laksana
raksasa, semakin menambah keseraman terutama bagi anak kecil yang
melihat.
Sesampainya
di lokasi, di bakarin kemenyan oleh sang pawang, terus mereka berjoged (
ngibing,jawa ) sesuai peran nya, dan kesurupan pun makin menjadi- jadi,
suasana makin menyeramkan, dan mulai makan sesaji kumplit yang di
sediakan di meja kusus tempat sesaji. Yang di makan pun serba aneh, daun
papaya mentah, kembang, minyak wangi, kemenyan, dan makanan makanan
lain, bahkan ada juga yang makan ayam hidup. Penonton juga kadang ada
yang kesurupan, seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
Bagi
anda yang berminat menyaksikan pentas Cépét, datang saja ke Desa
watulawang pada setiap 17 Agustus, karena kesenian ini hanya pentas pada
hari itu. Atau yang mau mengetahui tentang kesenian cepet ini lebih
jauh, silahkan datang ke Desa Watulawang, dan menemui Ketua nya yaitu
bp. Dawintana, yang beralamat di RT. 06, RW 02, desa watulawang, kec.
Pejagoan, Kab. Kebumen.
SEJARAH SENI CEPETAN
Seni Cepetan adalah tarian jogetan yang pemainnya menggunakan topeng/
Cepet dan diiringi musik tradisional. Topeng terbuat dari kayu dibentuk
sedemikian rupa menyerupai buto/ raksasa dan mengenakan rambut panjang
yang terbuat dari ijuk aren atau dalam bahasa Watulawang disebut Duk.Jumlah pemain dalam kesenian ini ada 12 orang. Bentuk topengnya juga 12 macam, ada yang seperti buto galak, buto cakil, buto melet, buto ijo, kera, kantong bolong, kakek kakek dan putri, sehingga disebut juga sebagai “Cepet Rolas”.
Alat pengiringnya berupa 3 buah kentongan terbuat dari bambu dan satu drum bekas/ jerigen besi juga gamelan jawa.
Dalam setiap pentas seni cepetan ada yang selalu dinanti yaitu mendeman dimana semua pemain kerasukan roh halus menurut perannya masing masing sehingga mereka tidak sadar dan menari mengikuti irama musik pengiring. Tidak ketinggalan juga atau bahkan termasuk salah satu syarat dalam suatu pentas dalah “sajen” atau sesaji. Sajen berupa rupa-rupa jajanan pasar, nasi tumpeng dan lauknya, macam-macam minuman tradisional, sambetan, kelapa hijau muda,bunga 7 rupa, pisang raja dan ambon, minyak wangi, kemenyan dan ayam hidup.
Sajen akan menjadi santapan para roh halus yang menyusupi para pemain, dan apabila ada salah satu yang kurang, biasanya menjadi masalah, dalam kesurupan menjadi sulit disembuhkan oleh pawangnya. Di akhir pentas para pemain yang kesurupan akan ditimbul yaitu disadarkan dari kesurupannya oleh sang pawang.
Seni cepetan sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Awalnya seni cepetan dikenal di wilayah Karang Gayam, Kebumen. Dahulu seni cepetan digunakan oleh para pejuang di wilayah Karang Gayam dan sekitarnya untuk menakut-nakuti penjajah. Karena memang bentuknya sudah menakutkan, seperti mahluk alasan atau gerombolan mahluk halus dari alas yang angker. Menurut cerita penjajah yang menjumpai rombongan ini akan lari terbirit birit. Karena rombongan ni dulunya bermarkas dihutan maka disebut juga “ Cepet Alas” yang maknanya epet yang berasal dari hutan.
Kesenian ini mulai masuk di Desa Watulawang pada masa Kemerdekaan Republik Indonesia, dan mulai resmi berdiri pada tahun 1958. Pelopor pendirinya adalah mbah Partawijaya dan dibantu oleh Mbah Sandi Kebon. Kesenian ini dilestarikan dengan cara dimainkan pada setiap peringatan kemerdekaan RI sebagai penghormatan kepada jasa-jasa para pejuang dan kemudian berkembang pada acara-acara desa lainnya seperti peresmian, syukuran panen dan lain-lain. Dalam setiap pentas selalu diadakan pawai/ arak-arakan keliling desa. Musik yang digunakan hanya kentongan dan drum, sedangkan kalau sudah sampai arena pentas biasanya disambung dengan gamelan.
Sampai saat ini minat masyarakat Watulawang dan sekitarnya untuk menyaksikan pentas seni cepetan sangatlah tinggi, terbukti setiap ada pementasan selalu ramai dipenuhi penonton.
Pada akhir masa kepemimpinan mbah Parta, kesenian ini mulai kurang terurus karena beliau sudah tua, topeng pun sudah mulai rapuh. Namun penggantinya sigap dalam membenahi masalah ini adalah mbah Dawintana sebagai ketua sekaligus sesepuh pengganti rombongan mulai memperbarui topeng-topeng yang rusak.
Pada pertengahan tahun 2013, mulai diadakan pembaharuan, mulai belajar tari tambahan, dan mulai ditanggap orang hajat, sehingga saat ini sudah mulai sering diadakan pentas seni Cepetan, dibanding jaman dulu yang hanya ada dalam setahun sekali.
Sekian ulasan dari kami, bila ada salah dan kurang pas nya,mohon maaf, dan di tunggu kritiknya.
Terima kasih
Kuda Lumping / Ébég
Kuda
Lumping atau bahasa populernya di watulawang adalah Ebeg adalah seni
tradisional seperti yang ada di daerah2 lain di Jawa. Untuk di
Watulawang sendiri, seni kuda lumping masih sangat klasik, belum
terjamah oleh seni modern, tapi justru yang klasik ini malah di mata
masyarakat di lestarikan, karena itu warisan nenek moyang.
Seperti
umumnya, kuda lumping di mainkan oleh 12 orang yang menunggang kuda
memakai kostum ksatria, 2 orang memainkan barong,dan 2 orang lagi
memakai topeng yang di sebut cepet dan penthul yang biasa ngelawak. Kuda
disini bukan kuda beneran tapi kuda kepang, atau kuda lumping, yaitu
gambar kuda yang terbuat dari anyaman bambu, kemudian di bentuk
menyerupai kuda, dan di beri warna. Musik yang mengiringi berupa
seperangkat gamelan , dan di lengkapi juga dengan wawanggana atau
sinden. Gending – gending yang di bawakan biasanya juga gending- gending
klasik pada umumnya. Pada seni ini juga ada acara kesurupan, setelah
mengiringi beberapa gending, biasanya di adakan janturan ( memasukkan
roh halus pada para pemain ) sehingga para pemain kesurupan. Dan satu
persatu di sembur, atau di timbul agar tersadar dari kesurupan nya.
Dalam
pementasan ini juga harus di sediakan macam macam sesaji di meja kusus
sajen, untuk ngasih makan para roh halus yang masuk ke dalam tubuh para
pemain.
Pementasan
kuda lumping ini biasanya pada saat saat tertentu, yaitu pada tanggal
17 agustus, dan di hari – hari lain kalo ada yang nanggap.
Untuk tarifnya cukup murah, dan permainan lumayan atraktif.
Bagi
anda yang ingin menyaksikan pertunjukan ini, silahkan datang ke desa
watulawang, pada tanggal 17 agustus, atau di hari – hari lain kalau pas
ada undangan pentas.
Rombongan
kuda lumping ini di ketuai oleh Bp. Karso, yang beralamat di dukuh
Dungkul, RT 04, RW 01, Desa Watulawang, Pejagoan, Kebumen.
Dan yang berminat ngundang, silahkan menghubungi bp. Karso di alamat tersebut.
Sekian Ulasan dari kami, tidak lupa mohon maaf dan saran serta kritiknya.
Admin.
Wayang Kulit
Wayang
kulit termasuk seni yang terpopuler dan paling elit, di antara seni –
seni tradisonal lainnya. Wayang kulit atau wayang purwa merupakan budaya
Jawa yang di wariskan oleh nenek moyang, sebelum ada wali di tanah
jawa, seni wayang merupakan media untuk menyebarkan agama hindu, setelah
wali songo masuk ke tanah jawa, maka di rubahlah, secara bertahap, dan
menjadi media untuk menyebarkan agama islam pada waktu itu oleh para
wali.
Wayang
kulit pada umumnya mengambil cerita cerita Mahabarata dan Ramayana,
juga ada pula yang mengambil dari Cerita panji sebagai lakon carangan (
bukan pakem ).
Di
desa watulawang sendiri budaya ini mulai di tinggalkan generasinya,
banyak generasi muda yang sudah tidak menyukainya, hanya para orang tua,
dan sebagian kecil pemuda aja yang masih melestarikan. Basis seni
wayang di kecamatan pejagoan hanya terdapat di desa Watulawang, ada 5
dalang ( pemain wayang ) beserta group nya di desa ini, walupon desanya
kecil, tetapi kaya akan seni budaya.
Pementasan wayang biasanya di tempat orang – orang punya hajat sebagai hiburan.
Di
watulawang sendiri setiap tahunnya ada pementasan wajib, yaitu pada
bulan suro yang biasa di sebut Ruwat Bumi, atau Merdi Bumi, atau sedekah
bumi. Ruwat bumi yaitu pagelaran wayang kulit sehai semalam yang
membawakan lakon tertentu yang tidak di mainkan di kesempatan lain.
Pementasan ini biasanya cukup sacral, karena di percaya sebagai penumbal
setan, dan sudah tradisi secara turun temurun. Menurut cerita kalau
tidak di lakukan ruwat bumi, konon akan datang mara bahaya di desa
tersebut, bisa berupa pageblug, serangan hama pada tanaman, penyakit
pada manusia dan hewan, dan lain- lain.
No comments:
Post a Comment